Saturday, November 2, 2013

Mutiara Pertiwi di Negeri Paman Sam

 Ciiiittttt! Begitulah bunyi suara benda yang seketika itu berhenti tepat di depan badanku yang tidak begitu tinggi. Masih seperti mimpi rasanya melihat benda berwarna kuning dengan desain yang unik disertai tulisan school bus  di samping kanannya. Ya, sepersekian detik lagi aku akan menaikki bus sekolah Amerika Serikat, yang dulunya hanya bisa kutonton di film-film Barat. Ku angkat kaki kananku untuk memasukki bus ini dan tak lupa kupasang senyum khas Indonesiaku kepada setiap penumpangnya.
    Gleg! Rasanya waktu berhenti beberapa detik ketika kusadari pandangan semua penumpang di bus kuning itu tertuju padaku. Beberapa dari mereka pun tak sadar bahwa tatapan mereka sempat menyiutkan nyaliku untuk memulai hari pertamaku di sekolah asuhku, Smithfield Selma High School. Ini adalah sekolahku selama aku menjadi siswi pertukaran pelajar di Amerika Serikat setahun ke depan. Aku pun segera mencari tempat yang kosong untuk duduk. Aku memberanikan diri untuk duduk di sebelah anak perempuan yang sedang menerawang jauh ke luar jendela. Dari wajahnya, dia terlihat gadis yang pendiam namun penuh wawasan.
    Aku menikmati perjalanan dari rumah keluarga asuhku ke sekolah. Hijau dan asrinya North Carolina mengingatkanku dengan Bumi Pertiwi, tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Seketika itu juga, aku teringat pesan dan ucapan oran-orang terderkatku sebelum aku berangkat ke Amerika Serikat. Ada yang berpesan, "Intan, ingat selalu dengan jilbabmu. Budaya dan agama itu mutlak. Jangan sampai imanmu tergoyahkan dengan hasutan mereka". Hati ini tertegun ketika mengingat kalimat itu. Bukan hanya satu atau dua orang yang mengatakannya, melainkan hampir setiap orang yang kupamiti berpesan seperti itu. Bahkan ada temanku yang berkata, "Wah, hati-hati kamu! Nanti sepulang dari sana, kamu langsung memakai rok mini dan kau kibaskan rambutmu itu". Kupejamkan mataku, kutarik nafas dalam-dalam untuk memgumpulkan lagi tekadku bahwa aku mampu melewati fase ini. Ketika kubuka mataku, aku melihat sebuah bangunan yang tidak begitu tinggi, bertembokkan batu bata, dan kokoh berdiri menyambut para siswanya yang baru saja menikmati libur musim panas.
    Hari ini aku memakai pakaian bebas, yaitu kaos polo merah, jeans, dan jilbab merah marun. Perkiraanku tepat sekali, kejadian yang kualami di bus terulang lagi. Setiap orang yang berpapasan denganku selalu menoleh ke hadapanku dan mengamatiku dari atas sampai bawah. Kukuatkan hatiku dan berkata, "Sabar Tan, kamu harus kuat! Ini adalah permulaan. Tunjukkan bahwa orang Indonesia itu ramah". Lagi, kukumpulkan nyaliku dan kutorehkan senyum ramah yang mencerminkan aku orang Indonesia.
    Sebelum bel kelas berbunyi, aku memasuki lorong utama untuk menemui kepala sekolah. Dengan senyum semangat, aku berkenalan dengan beliau dan meminta ijin untuk menggunakan salah satu ruangan di sekolah, ruangan untuk sholat. Beliau pun mempersilakanku memakai ruang gym untuk melaksanakan sholat Dhuhur. Kunci pun sudah disiapkan, khusus untukku. Subhanallah! Alhamdulillah aku masih diberi kesempatan untuk beribadah. Jawaban dari kepala sekolahku membalikkan segala pikiran yang ada di pikiranku sebelumnya. Rasa khawatirku kini menjadi sedikit hilang. Aku pun yakin bahwa jilbab dan agamaku yang minoritas di sini bukanlah penghalang bagiku untuk menorehkan kenangan indah di sekolahku ini, kenangan yang mampu meyakinkan mereka bahwa Muslim itu tidak berbahaya. Program pertukaran pelajar yang kuikuti ini memang bertujuan untuk menghilangkan pandangan buruk orang Amerika tentang Muslim dan memberi mereka pengertian lebih tentang Islam. Memang, peristiwa pengeboman World Trade Center di Amerika membuat kebanyakan orang Amerika berpandangan bahwa Muslim itu menakutkan.
Lamunanku sekejap terbangunkan oleh bel yang berbunyi "Kring!". Aku hanya mempunyai waktu 5 menit untuk menuju kelasku. Dengan bergegas aku mengeluarkan kertas putih yang berisi jadwal pelajaranku lengkap dengan ruangan mana yang harus kutuju.Ya, sekarang aku harus segera ke kelas 2116. Aku sempat ragu untuk mencari jalan ke sana hingga akhirnya kuputuskan bertanya kepada seorang wanita yang sudah cukup umur yang sedang berdiri di depan kelasnya.
Dengan berucap bismillah, aku mulai menyapa beliau. "Selamat pagi!". Aku pun segera bertanya tanpa basa-basi karena sepengetahuanku orang Barat suka hal yang to the point. Tanpa kuduga, aku mendapat respon yang luar biasa dari beliau. Bukan hanya jawaban, namun pelukan hangat dan sapaan yang sangat ramah. Beliau berkata, "Aku suka pakaian dan warna bajumu. Terlihat anggun dan cantik. Dari mana kamu berasal?". Aku pun menjawab, "Terima kasih. Saya siswi pertukaran pelajar dari Indonesia". Karena tidak ingin terlambat, aku pun segera pamit untuk pergi ke kelasku. Kuakhiri percakapan kami dengan senyum khas Indonesiaku. Kejadian itu tadi membuatku lebih semangat untuk menjalani hari-hariku ke depan. Jilbab yang kukenakan ini Insya Allah akan selalu menemani hari-hariku di sini.
    Hari pertamaku di sekolah akhirnya terlewati. Seiring dengan berjalannya waktu, aku berusaha untuk mencari teman sebanyak-banyaknya. Sebelum berangkat aku sempat berpikir, aku akan lebih sulit mencari teman karena aku memakai jilbab. Namun, setelah 3 bulan di sini, pikiran itu sirna. Setiap orang kini justru lebih mudah mengingatku karena cara berpakaianku yang berbeda diantara mereka. Bahkan hampir setiap paginya, orang-orang di sekitar berkata, "Aku menyukai wana-warna tutup kepalamu itu. Berbeda dan unik". Pernah suatu ketika, guru ketertiban dibuat jengkel oleh siswi-siswinya yang memakai pakaian yang seharusnya tidak mereka kenakan ketika di sekolah. Dari kejauhan, guruku itu mendekatiku yang duduk di meja perpustakaan dan beliau berkata, "Seharusnya anak-anak itu memakai rok dan celana panjang seprerti kamu. Lebih sopan untuk dipandang".
    Tidak terasa, sekarang adalah bulan November. Tepat minggu depan, aku hartus mengadakan presentasi di sekolah dan di perpustakaan umum dalam rangka Internasional Education Week. Aku pun berencana untuk menampilkan yang terbaik karena di sinilah momen di mana nama Indonesia dan cermin Muslim benar-benar dikenalkan langsung kepada mereka. Dengan meminta bantuan ibu asuh dan guru-guru di sekolah, aku menyusun jadwal presentasiku. Bukan hanya materi, tapi aku juga menyiapkan mental jikalau aku mendapat pertanyaan atau pernyataan yang berhubungan dengan Islam adan Indonesia.
    Minggu yang kutunggu-tunggu puntiba. Satu minggu ini aku akan berkeliling ke kelas-kelas dan di  perpustakaan kota. Aku mencoba berpakaian semenarik mungkin. Kukenakan batik, jarik, kebaya mdan jilbab yang sesuai dengan warna kostumku. Dengan bangga, aku memperkenalkan pakaian adat tanah airku, Indonesia.
    Kuawali pagiku dengan langkah pasti. Ketika memasukki gerbang sekolah, orang-orang kembali melihatku. Namun, pandangan ini berbeda dengan pandangan pertama kalinya mereka bertemu aku. Kali ini terlihat di wajah mereka bahwa mereka mengagumi motif kebaya dan batik yang kukenakan. Di kelas pertamaku, aku bekerja keras menjadi duta bangsa yang baik. Setelah selesai presentasi, aku membuka sesi tanya jawab. Dugaanku tepat, banyak sekali pertanyaan dari teman-teman dan guruku. Alhamdulillah, dengan ridho-Nya, aku mampu menjawab rasa penassaran mereka. Di akhir-akhir presentasi, kebanyakaan dari mereka mengatakan bahwa mereka suatu saat ingin mengunjungi dan mengenal Indonesia lebih dekat.
    Empat musim di negeri Paman Sam kulewati dengan banyak cerita, entah itu menyenangkan ataupun menyedihkan. Apapun itu, aku bersyukur karena berkesempatan untuk mengeksplor dunia. Di sinilah mata dan pikiranku terbuka bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu. Semua itu tergantung pada kita, bagaimana kita menjadikan perbedaan itu sebagai warna yang mampu bersatu sehingga terlihat lebih indah.
Aku merupakan kaum minoritas karena hanya sedikit orang yang berjilbab di lingkunganku di Amerika. Namun itu bukanlah penghalang bagiku untuk menjalin silaturahmi dengan mereka. Jilbabku bukan pula penghalangku untuk terus belajar mewujudkan perdamaian dunia. Jilbabku bukan pula penghalang bagiku untuk mempelajari lebih tentang apa yang sebenarnya terjadi di belahan dunia yang lain. Akan tetapi, jilbabku justru menjadi mutiara hatiku yang melindungi dan selalu mengingatkanku untuk selalu memegang teguh prinsipku. Dengan menutup auratku, bukan berarti aku menutup pikiranku. Justru inilah waktunya aku belajar untuk menjadi Muslimah yang peduli terhadap kesejahteraan agama, bangsa dan dunia.

No comments:

Post a Comment